Thursday, November 17, 2011

PELAYANAN SATU ATAP SEBAGAI SALAH SATU EXCITING CONDITION PELAYANAN PUBLIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pelayanan publik merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan pemerintah beserta aparaturnya kepada masyarakat dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sekaligus memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani.
      Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat, sudah tentunya suatu pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah harus mencakup seluruh masyarakat yang membutuhkannya, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat merasakan kepuasan dari layanan yang diberikan kepada mereka.
      Kualitas pelayanan publik yang baik merupakan salah satu agenda yang perlu ditingkatkan dalam periode reformasi yang kita jalani saat ini. Karena sejalan dengan perubahan paradigma administrasi yang dari waktu ke waktu mengalami kedinamisan, berimplikasi pada pentingnya perubahan terhadap proses penyelenggaraan pelayanan publik.
      Dalam meningkatkan dimensi kualitas pelayanan publik tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan dan pemenuhan berbagai sendi-sendi kebutuhan masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya melakukan perbaikan pelayanan kepada masyarakat adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan terpadu satu  atap. Kebijakan ini juga terkait sebagai suatu pedoman penyelenggaraan pelayanan prima di daerah, sebagai bagian peningkatan pelayanan publik yang juga merupakan salah satu esensi berotonom lewat pelaksanaan proses desentralisasi.
      Pemerintah daerah dalam hal ini sebagai penyedia layanan public senantiasa dituntut kemampuannya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kualitas layanan juga dimaksudkan agar semua masyarakat dapat menikmati layanan yang secara tidak langsung menjamin hak-hak azasi warga negara.
      Untuk mewujudkan kesemua hal diatas, maka salah satu konsep pemerintah dalam pemberian pelayanan yang berkualitas adalah dengan melakukan pelayanan terpadu satu atap, untuk memberikan segala kelancaran dan kemudahan layanan, serta akuntabiltas layanan kepada masyarakat, sehingga pada akhirnya, sedikit demi sedikit pengadopsian paradigma administrasi publik, khususnya dalam hal pelayanan bisa diimplementasikan serta dipertangungjawabkan kepada masyarakat selaku sasaran penyelenggaraan pelayanan berkualitas itu.

1.2  Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penulisan paper ini adalah, bagaimanakah mekanisme layanan satu atap sebagai salah satu produk kebijakan pemerintah yang juga dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan yang berkualitas ?

BAB II
PEMBAHASAN


Pelayanan prima merupakan terjemahan dari excellent sevice yang artinya pelayanan terbaik. Pelayanan prima sebagai strategi adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadikan kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa sebagai penggerak utama pencapaian tujuan organisasi.
Arti pelayanan prima berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Penanganan layanan secara professional menjadi kunci keberhasilan, oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang layanan yang dikelola.
Hal tersebutlah yang juga sedikit demi sedikit ditransformasikan dalam penyelenggaraan pelayanan melalui pola layanan satu atap atau sering disebut layanan terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi. Sebenarnya pola layanan satu atap awalnya dilatar belakangi untuk mempercepat perijinan investasi dalam upaya untuk meningkatkan kuantitas penanaman modal oleh pihak swasta asing maupun domestik di Indonesia melalui instansi Badan Koordinasi Penanaman Modal, akan tetapi pola layanan satu atap ini juga dinilai mampu untuk memenuhi kebutuhan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya oleh masyarakat di daerah yang berada dalam cakupan sasaran layanan pemerintah daerah.
Pola pelayanan satu atap diatur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) melalui Surat Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman pelaksanaan pelayanan satu atap antara lain disebutkan bahwa dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara dalam hal ini dititik beratkan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa. SK Menpan itu selanjutnya menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melalui kebijakan dari Menpan inilah maka pengimplementasian pelayanan terpadu satu atap di pemerintah daerah dapat dikembangkan lewat kebijakan operasional di berbagai daerah, baik melalui perda maupun keputusan kepala daerah.
Lewat pelayanan satu atap, maka proses pemenuhan layanan kepada masyarakat akan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, efektif, efisien dan akuntabel sebagaimana tujuan dari paradigma Good Governance. Layanan satu atap juga berguna bagi percepatan proses pembangunan di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah di negara kita.
Menurut penilaian lain, sistem pelayanan satu atap ini dinilai dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan pungutan-pungutan liar yang ada termasuk korupsi dan biaya-biaya yang tidak resmi dari calo-calo. Sehingga pengurusan segala perijinan dan non perijinan tentu dapat lebih murah dan cepat dan hanya pada satu tempat saja. Manfaat yang akan diperoleh oleh instansi atau pemerintah daerah yang menerapkan sistem ini tentu saja peningkatan pendapatan asli daerahnya dan juga akan memberikan nilai positif terhadap mitos tentang kinerja pegawai negeri yang lambat dan terkesan ogah-ogahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Mekanisme Pelayanan Satu Atap di Pemerintah Daerah dan Kendala yang Dihadapi
Seperti yang telah disampaikan diatas, pola pelayanan satu atap dapat juga dikembangkan di pemerintah daerah dalam rangka mempercepat proses pemberian layanan publik kepada masyarakat. Secara garis besar pemenuhan layanan publik kepada masyarakat mencakup dua aspek, yakni public goods dan public regulation. Public Goods menyangkut ketersediaan sarana dan prasarana publik yang dibutuhkan masyarakat, sementara public regulation menyangkut pemenuhan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dalam hal memperoleh perizinan (hal untuk melakukan tindakan hukum yang legal seperti membuka usaha) dan hal dalam pemenuhan kebutuhan yang sifatnya non-perizinan (hak untuk mendapat pengakuan seperti memperoleh KTP).
Secara umum mekanisme pelayanan satu atap dilaksanakan oleh tiap pemerintah daerah di daerah masing-masing disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan akan pemenuhan segala hal yang mereka butuhkan.
Beberapa layanan yang dapat diberikan melalui sistem pelayanan satu atap ini antara lain : KTP, Akta Kelahiran, Akte Perkawinan, Akte Perceraian, Akte Kematian, Ijin Ganguan (HO), Ijin mendirikan bangunan, Surat Tanda Daftar Industri (STDI), Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Gudang (TDG), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), Sewa Petak Toko Milik Pemda, Pajak Pertunjukan dan Keramaian Umum, Ijin Pendirian Perusahaan Angkutan Umum, Reklame, Pendaratan, Ijin Lokasi, Penetapan Lokasi dan masih banyak lainnya.
Mekanisme pelayanan satu atap dilakukan dengan integrasi secara menyeluruh antara instansi-instansi yang terkait. Artinya terdapat suatu sistem yang menghubungkan atau yang mengkoneksikan instansi-instansi yang memiliki keterkaitan terhadap suatu pengurusan yang dibutuhkan masyarakat.  Data-data yang dahulu telah tercatat atau tersimpan sebagai data base mengenai pengguna jasa atau pembuat dokumen lain telah terintegerasi dan akan terkoneksi pada sistem ini. Sehingga berbagai layanan yang diperlukan akan mudah dan cepat serta murah untuk diselesaikan dengan hasil yang maksimal akurat serta minim kesalahan. Kemudian data yang diterima dari pengguna jasa tersebut akan masuk ke setiap instansi yang terkait.
Secara umum sistem yang dikembangkan ini meliputi dari sistem aplikasi dan data base yang semuanya disimpan dibeberapa server jumlahnya tergantung dari integritas layanan yang tersedia dan load masing-masing layanan. Kemudian server tersebut akan terhubung dengan beberapa tempat kerja (kantor) yang mempunyai fasilitas layanan satu atap tersebut melalui jaringan komputer atau telekomunikasi. Sehingga pengguna akan dapat melakukan proses layanan yang tersedia atau melakukan proses monitoring dan kontroling bagi pengguna yang mempunyai kewenangan.
Dengan sistem yang terintegerasi ini pula proses monitoring dan kontrol dapat diakses sehingga akan mempermudah bagi kepala dinas ataupun Bupati / Walikota sebagai penanggung jawab pada ruang lingkup kerjanya akan dapat lebih mudah melakukan pekerjaannya. Segala perbuatan mengenai pungutan liar dan segala macam bentuk kecurangan yang dilakukan akan dapat diminalisir dengan hadirnya sistem layanan satu atap ini.
Akan tetapi dengan adanya Sistem Informasi Manajemen Satu Atap ini juga harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Teknologi informasi yang semakin canggih menuntut pegawai pemerintah untuk lebih memahami dan dapat mengoperasikannya sehingga dapat tercipta suatu pelayanan yang efektif dan efisien. Pada kenyataannya para pegawai masih belum secara maksimal menguasai konsep serta teknologi pelayanan secara terpadu. Sehingga banyak pemerintah daerah atau instansi yang telah menerapkan sistem pelayanan terpadu ini belum secara maksimal dalam memberikan pelayanannya masih banyak memakan waktu. Khusus dalam pembuatan KTP sistem pelayanan satu atap ini masih memungkinkan beberapa masyarakat memiliki identitas ganda. Kebijakan yang berbeda dalam masa otonomi daerah juga memberikan beberapa kendala terhadap sistem pelayanan satu atap, seperti dalam memberikan sebuah ijin di suatu pemerintah daerah memiliki beberapa kriteria yang dapat berbeda.
Kendala yang lain adalah belum semua wilayah di beberapa pemerintah daerah memliki koneksi antar sesama instansi sehingga data belum secara kolektif terkumpul. Layanan satu atap pun terkadang masih belum bisa secara pasti diterapkan karena beberapa calon pelanggan harus tetap mengurus beberapa kekurangan dokumen kelengkapan di kantor instansi yang lain.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Sistem pelayanan satu atap sebenarnya memiliki konsep yang tepat dalam hal peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sekaligus sebagai sebuah sistem yang dapat menciptakan penambahan pendapatan baik dilihat dari jumlah peningkatan pengguna layanan maupun dari sisi mengurangi "kebocoran" pendapatan daerah yang terkorupsi oleh para oknum aparat.
Penerapan sistem dalam pelayanan satu atap juga hendaknya dapat dikembangkan lagi dengan memperhatikan konsep kerja atau konsep bisnis dari pemerintah daerah yang memberikan layanan satu atap tersebut, sehingga kondisi yang demikian akan memunculkan ketepatan penggunaan dari setiap teknologi yang di aplikasikan pada sistem tersebut.
Meski memberikan suatu percepatan penyelenggaraan pelayanan publik,  pelayanan satu atap masih tetap harus ditingkatkan baik dalam segi kualitas sumber daya manusia, sistem teknologi yang diharapkan, kebijakan setiap pimpinan dari setiap kepala daerah dalamn langkah menyempurnakan pelayanan kepada masyarakat, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada masyarakat. Disamping itu juga tentunya diperlukan suatu proses pelayanan yang akuntabel sehingga setiap kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik itu dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat maupun kepada pihak yang bertindak sebagai pengawas lebih tinggi untuk bahan evaluasi dan perbaikan di masa-masa yang akan datang.
3.2 Saran
            Dalam penyelenggaraan pelayanan publik melalui pelayanan satu atap selain menjadi produk kebijakan dari pemerintah untuk percepatan pelayanan kepada masyarakat, tentunya membutuhkan partisipasi juga dari masyarakat untuk turut mendukung upaya pemerintah dalam pencapaian tujuan ditetapkannya pelayanan satu atap. Sehingga dengan demikian setiap hal yang menjadi kelemahan pemerintah dari implementasi kebijakan ini, bisa dikritisi oleh masyarakat yang bersifat membangun dan memperbaiki sistem ataupun metode pelayanan ini.
DAFTAR PUSTAKA

            Agung Priyono. Pelayanan Satu Atap Sebagai Strategi Pelayanan Prima di Era Otonomi Daerah. 27 Februari 2006.
Joe Fernandes, dkk. Otonomi Daerah di Indonesia di Masa Reformasi. IPOS and Ford Fondation. Jakarta. 2002
Osborne David, Plastrik Peter. Memangkas Birokrasi. Edisi Revisi. PPM 2001.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Chapter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005
Surat Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Satu Atap.

REVITALISASI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENATAAN STRUKTUR KELEMBAGAAN DAERAH

Penataan Perangkat Daerah Sesuai Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007.
   Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentan organisasi perangkat daerah, kebijakan yang mengatur organisasi perangkat daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Dalam PP No 8 Tahun 2003 itu disebutkan bahwa Perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala dearah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan lingkungan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan satuan Polisi Pamong Paraja sesuai dengan kebutuhan daerah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perangkat daerah pada pokoknya adalah organisasi yang bertugas untuk membantu kepada daerah dalam menyelenggarakan  pemerintahan daerah. Sehingga sebagai organisasi, perangkat daerah dibentuk dan bekerja berdasarkan prinsip teori organisasi.
Sebagai organisasi/lembaga yang membantu kepala daerah juga memiliki tugas yang menyelenggarakan  pemerintahan daerah dibawah kepimpinan  kepala daerah. Kriteria pembentukan lembaga-lembaga perangkat daerah sendiri disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Adapun lembaga-lembaga yang tergolong kedalam perangkat daerah tersebut yaitu; sekretariat daerah, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,kelurahan dan satuan polisi pamong paraja.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas diwadahi dalam bentuk Inspektorat, unsur perencanaan diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri, dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh propinsi, kabupaten dan kota, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah, hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yaitu, pada prinsipnya memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi serta komunikasi kelembagaan pusat dan daerah.
Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor  keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis jumlah dan kepadatan  penduduk, potensi daerah yang berhubungan dengan urusan yang akan ditangani sarana dan prasarana penunjang tugas, oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Peraturan pemerintah menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, dan kemudian ditetapkan pembobotan masing-msing variabel yaitu 40% untuk variabel jumlah penduduk, 35% untuk variabel luas wilayah dan 25% untuk variabel jumlah APBD, demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah.
Perubahan nomenklatur bagian tata usaha  pada dinas dan badan menjadi sekretariat dimaksudkan untuk lebih memfungsikan sebagai unsur staf  dalam rangka koordinasi penyusunan dan penyelenggaraan tugas-tugas bidang secara terpadu dan tugas pelayanan administratif.
Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas  dan objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat Propinsi/Kota/  Kabupaten, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.
Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam peraturan pemerintah ini dimaksud dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi antar daerah dan antar sektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan  peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitas melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan serta kerja sama, sehingga sinkronisasi dan simplikasi dapat tercapai secara optimal dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkoba propinsi kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi  penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan  pemerintah atas usul kepala daerah.
Untuk pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dinas, sekretariat DPRD dan lembaga teknis daerah, dengan demikian kepala dinas, sekretariat DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah bukan merupakan  bawahan langsung sekretaris daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan peraturan pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas.
2.2 Penerapan PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Pemerintah Daerah
   Meski telah ada kebijakan yang mengatur tentang satuan kerja perangkat daerah untuk dipakai oleh setiap pemerintah daerah didalam membentuk organisasi perangkat daerah, namun kenyataan yang terjadi di daerah saat ini adalah bahwa kelembagaan perangkat daerah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 bukan didasarkan pada pertimbangan diatas artinya, penataan yang dilakukan tidak sepenuhnya berlatar belakang pada apa yang harus dimainkan oleh pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sesuai kebutuhan mereka dan pengelolaan ciri khas yang dimiliki oleh daerahnya, melainkan lebih dipengaruhi oleh sikap untuk mengakomodasi tuntutan penyediaan eselon  (Jabatan) untuk personil pegawai yang ada di Pemda, keterbatasan anggaran keuangan daerah, atau kecenderungan untuk memekarkan organisasi perangkat daerah dengan alasan antisipatif yang kurang rasional dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah memberikan kekuasaan dan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah dalam menyususn dan menetapkan organisasi perangkat daerah. Dalam pedoman itu telah ditegaskan bahwa penyusunan kelembagaan perangkat daerah harus mempertimbangkan kewenangan yang dimiliki, karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, dan pengembangan pola kemitraan antar daerah.
Namun, kewenangan dan kekuasaan pada tahap implementasi diterjemahkan secara berbeda-beda oleh masing-masing daerah dan cenderung ditafsirkan dengan keinginan masing-masing daerah. Berbagai pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan dalam penataan kelembagaan seringkali cenderung lebih bernuansa politis daripada  pertimbangan rasional objektif, efisiensi dan efektivitas. Kecenderungan tersebut telah membawa implikasi pada pembengkakan organisasi perangkat daerah secara sangat signifikan, hal ini berpengaruh kepada alokasi anggaran yang tersedia di masing-masing daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) yang semestinya untuk belanja pegawai, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk kepentingan pelayanan publik, sebagian besar untuk membiayai birokrasi pemerintah daerah. Dengan demikian, justru kondisi kelembagaan pemerintah daerah masih belum sejalan dengan makna maksud dan tujuan otonomi daerah.
Terlepas dari berbagai pertimbangan yang mempengaruhi penataan kelembagaan perangkat daerah dengan kesadaran bahwa perubahan suatu sistim termasuk juga sistem pengelolaan  pemerintahan di daerah bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara  serta merta, karena itulah diperlukan suatu revitalisasi untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, agar segala kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah pusat dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah dengan sebaik-baiknya.
2.3 Revitalisasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal Penataan Organisasi Perangkat Daerah
      Untuk memperbaiki mekanisme penataan perangkat daerah di pemerintah daerah maka perlu dilakukan perevitalisasian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Revitalisasi ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah meliputi:
1. Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada masyarakat;
2.    Peningkatan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat;
3.    Penyusunan pedoman hubungan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar tercipta kontrol dan keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
4.    Penguatan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi;
5.    Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum, pengelolaan kewenangan daerah, dan sistem informasi pelayanan masyarakat; serta
6.    Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance).