Thursday, November 17, 2011

PELAYANAN SATU ATAP SEBAGAI SALAH SATU EXCITING CONDITION PELAYANAN PUBLIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Pelayanan publik merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan pemerintah beserta aparaturnya kepada masyarakat dalam mewujudkan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sekaligus memberikan kepuasan kepada masyarakat yang dilayani.
      Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah kepada masyarakat, sudah tentunya suatu pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah harus mencakup seluruh masyarakat yang membutuhkannya, dan yang paling penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat merasakan kepuasan dari layanan yang diberikan kepada mereka.
      Kualitas pelayanan publik yang baik merupakan salah satu agenda yang perlu ditingkatkan dalam periode reformasi yang kita jalani saat ini. Karena sejalan dengan perubahan paradigma administrasi yang dari waktu ke waktu mengalami kedinamisan, berimplikasi pada pentingnya perubahan terhadap proses penyelenggaraan pelayanan publik.
      Dalam meningkatkan dimensi kualitas pelayanan publik tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pembangunan dan pemenuhan berbagai sendi-sendi kebutuhan masyarakat. Salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya melakukan perbaikan pelayanan kepada masyarakat adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur tata cara penyelenggaraan pelayanan terpadu satu  atap. Kebijakan ini juga terkait sebagai suatu pedoman penyelenggaraan pelayanan prima di daerah, sebagai bagian peningkatan pelayanan publik yang juga merupakan salah satu esensi berotonom lewat pelaksanaan proses desentralisasi.
      Pemerintah daerah dalam hal ini sebagai penyedia layanan public senantiasa dituntut kemampuannya meningkatkan kualitas layanan, mampu menetapkan standar layanan yang berdimensi menjaga kualitas hidup, melindungi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kualitas layanan juga dimaksudkan agar semua masyarakat dapat menikmati layanan yang secara tidak langsung menjamin hak-hak azasi warga negara.
      Untuk mewujudkan kesemua hal diatas, maka salah satu konsep pemerintah dalam pemberian pelayanan yang berkualitas adalah dengan melakukan pelayanan terpadu satu atap, untuk memberikan segala kelancaran dan kemudahan layanan, serta akuntabiltas layanan kepada masyarakat, sehingga pada akhirnya, sedikit demi sedikit pengadopsian paradigma administrasi publik, khususnya dalam hal pelayanan bisa diimplementasikan serta dipertangungjawabkan kepada masyarakat selaku sasaran penyelenggaraan pelayanan berkualitas itu.

1.2  Permasalahan
Adapun permasalahan dalam penulisan paper ini adalah, bagaimanakah mekanisme layanan satu atap sebagai salah satu produk kebijakan pemerintah yang juga dinilai sebagai salah satu bentuk pelayanan yang berkualitas ?

BAB II
PEMBAHASAN


Pelayanan prima merupakan terjemahan dari excellent sevice yang artinya pelayanan terbaik. Pelayanan prima sebagai strategi adalah suatu pendekatan organisasi total yang menjadikan kualitas pelayanan yang diterima pengguna jasa sebagai penggerak utama pencapaian tujuan organisasi.
Arti pelayanan prima berorientasi pada kepuasan pengguna layanan. Penanganan layanan secara professional menjadi kunci keberhasilan, oleh karena itu diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang-bidang layanan yang dikelola.
Hal tersebutlah yang juga sedikit demi sedikit ditransformasikan dalam penyelenggaraan pelayanan melalui pola layanan satu atap atau sering disebut layanan terpadu pada suatu tempat oleh beberapa instansi. Sebenarnya pola layanan satu atap awalnya dilatar belakangi untuk mempercepat perijinan investasi dalam upaya untuk meningkatkan kuantitas penanaman modal oleh pihak swasta asing maupun domestik di Indonesia melalui instansi Badan Koordinasi Penanaman Modal, akan tetapi pola layanan satu atap ini juga dinilai mampu untuk memenuhi kebutuhan layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya oleh masyarakat di daerah yang berada dalam cakupan sasaran layanan pemerintah daerah.
Pola pelayanan satu atap diatur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) melalui Surat Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang pedoman pelaksanaan pelayanan satu atap antara lain disebutkan bahwa dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dan peluang, aparatur negara dalam hal ini dititik beratkan kepada aparatur pemerintah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan, sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan barang dan jasa. SK Menpan itu selanjutnya menjelaskan bahwa pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melalui kebijakan dari Menpan inilah maka pengimplementasian pelayanan terpadu satu atap di pemerintah daerah dapat dikembangkan lewat kebijakan operasional di berbagai daerah, baik melalui perda maupun keputusan kepala daerah.
Lewat pelayanan satu atap, maka proses pemenuhan layanan kepada masyarakat akan dapat dilaksanakan dengan cepat, tepat, efektif, efisien dan akuntabel sebagaimana tujuan dari paradigma Good Governance. Layanan satu atap juga berguna bagi percepatan proses pembangunan di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah di negara kita.
Menurut penilaian lain, sistem pelayanan satu atap ini dinilai dapat meminimalkan atau bahkan menghilangkan pungutan-pungutan liar yang ada termasuk korupsi dan biaya-biaya yang tidak resmi dari calo-calo. Sehingga pengurusan segala perijinan dan non perijinan tentu dapat lebih murah dan cepat dan hanya pada satu tempat saja. Manfaat yang akan diperoleh oleh instansi atau pemerintah daerah yang menerapkan sistem ini tentu saja peningkatan pendapatan asli daerahnya dan juga akan memberikan nilai positif terhadap mitos tentang kinerja pegawai negeri yang lambat dan terkesan ogah-ogahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Mekanisme Pelayanan Satu Atap di Pemerintah Daerah dan Kendala yang Dihadapi
Seperti yang telah disampaikan diatas, pola pelayanan satu atap dapat juga dikembangkan di pemerintah daerah dalam rangka mempercepat proses pemberian layanan publik kepada masyarakat. Secara garis besar pemenuhan layanan publik kepada masyarakat mencakup dua aspek, yakni public goods dan public regulation. Public Goods menyangkut ketersediaan sarana dan prasarana publik yang dibutuhkan masyarakat, sementara public regulation menyangkut pemenuhan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dalam hal memperoleh perizinan (hal untuk melakukan tindakan hukum yang legal seperti membuka usaha) dan hal dalam pemenuhan kebutuhan yang sifatnya non-perizinan (hak untuk mendapat pengakuan seperti memperoleh KTP).
Secara umum mekanisme pelayanan satu atap dilaksanakan oleh tiap pemerintah daerah di daerah masing-masing disesuaikan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan akan pemenuhan segala hal yang mereka butuhkan.
Beberapa layanan yang dapat diberikan melalui sistem pelayanan satu atap ini antara lain : KTP, Akta Kelahiran, Akte Perkawinan, Akte Perceraian, Akte Kematian, Ijin Ganguan (HO), Ijin mendirikan bangunan, Surat Tanda Daftar Industri (STDI), Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Gudang (TDG), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), Sewa Petak Toko Milik Pemda, Pajak Pertunjukan dan Keramaian Umum, Ijin Pendirian Perusahaan Angkutan Umum, Reklame, Pendaratan, Ijin Lokasi, Penetapan Lokasi dan masih banyak lainnya.
Mekanisme pelayanan satu atap dilakukan dengan integrasi secara menyeluruh antara instansi-instansi yang terkait. Artinya terdapat suatu sistem yang menghubungkan atau yang mengkoneksikan instansi-instansi yang memiliki keterkaitan terhadap suatu pengurusan yang dibutuhkan masyarakat.  Data-data yang dahulu telah tercatat atau tersimpan sebagai data base mengenai pengguna jasa atau pembuat dokumen lain telah terintegerasi dan akan terkoneksi pada sistem ini. Sehingga berbagai layanan yang diperlukan akan mudah dan cepat serta murah untuk diselesaikan dengan hasil yang maksimal akurat serta minim kesalahan. Kemudian data yang diterima dari pengguna jasa tersebut akan masuk ke setiap instansi yang terkait.
Secara umum sistem yang dikembangkan ini meliputi dari sistem aplikasi dan data base yang semuanya disimpan dibeberapa server jumlahnya tergantung dari integritas layanan yang tersedia dan load masing-masing layanan. Kemudian server tersebut akan terhubung dengan beberapa tempat kerja (kantor) yang mempunyai fasilitas layanan satu atap tersebut melalui jaringan komputer atau telekomunikasi. Sehingga pengguna akan dapat melakukan proses layanan yang tersedia atau melakukan proses monitoring dan kontroling bagi pengguna yang mempunyai kewenangan.
Dengan sistem yang terintegerasi ini pula proses monitoring dan kontrol dapat diakses sehingga akan mempermudah bagi kepala dinas ataupun Bupati / Walikota sebagai penanggung jawab pada ruang lingkup kerjanya akan dapat lebih mudah melakukan pekerjaannya. Segala perbuatan mengenai pungutan liar dan segala macam bentuk kecurangan yang dilakukan akan dapat diminalisir dengan hadirnya sistem layanan satu atap ini.
Akan tetapi dengan adanya Sistem Informasi Manajemen Satu Atap ini juga harus diimbangi dengan sumber daya manusia yang memadai. Teknologi informasi yang semakin canggih menuntut pegawai pemerintah untuk lebih memahami dan dapat mengoperasikannya sehingga dapat tercipta suatu pelayanan yang efektif dan efisien. Pada kenyataannya para pegawai masih belum secara maksimal menguasai konsep serta teknologi pelayanan secara terpadu. Sehingga banyak pemerintah daerah atau instansi yang telah menerapkan sistem pelayanan terpadu ini belum secara maksimal dalam memberikan pelayanannya masih banyak memakan waktu. Khusus dalam pembuatan KTP sistem pelayanan satu atap ini masih memungkinkan beberapa masyarakat memiliki identitas ganda. Kebijakan yang berbeda dalam masa otonomi daerah juga memberikan beberapa kendala terhadap sistem pelayanan satu atap, seperti dalam memberikan sebuah ijin di suatu pemerintah daerah memiliki beberapa kriteria yang dapat berbeda.
Kendala yang lain adalah belum semua wilayah di beberapa pemerintah daerah memliki koneksi antar sesama instansi sehingga data belum secara kolektif terkumpul. Layanan satu atap pun terkadang masih belum bisa secara pasti diterapkan karena beberapa calon pelanggan harus tetap mengurus beberapa kekurangan dokumen kelengkapan di kantor instansi yang lain.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
            Sistem pelayanan satu atap sebenarnya memiliki konsep yang tepat dalam hal peningkatan pelayanan terhadap masyarakat sekaligus sebagai sebuah sistem yang dapat menciptakan penambahan pendapatan baik dilihat dari jumlah peningkatan pengguna layanan maupun dari sisi mengurangi "kebocoran" pendapatan daerah yang terkorupsi oleh para oknum aparat.
Penerapan sistem dalam pelayanan satu atap juga hendaknya dapat dikembangkan lagi dengan memperhatikan konsep kerja atau konsep bisnis dari pemerintah daerah yang memberikan layanan satu atap tersebut, sehingga kondisi yang demikian akan memunculkan ketepatan penggunaan dari setiap teknologi yang di aplikasikan pada sistem tersebut.
Meski memberikan suatu percepatan penyelenggaraan pelayanan publik,  pelayanan satu atap masih tetap harus ditingkatkan baik dalam segi kualitas sumber daya manusia, sistem teknologi yang diharapkan, kebijakan setiap pimpinan dari setiap kepala daerah dalamn langkah menyempurnakan pelayanan kepada masyarakat, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada masyarakat. Disamping itu juga tentunya diperlukan suatu proses pelayanan yang akuntabel sehingga setiap kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik itu dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat maupun kepada pihak yang bertindak sebagai pengawas lebih tinggi untuk bahan evaluasi dan perbaikan di masa-masa yang akan datang.
3.2 Saran
            Dalam penyelenggaraan pelayanan publik melalui pelayanan satu atap selain menjadi produk kebijakan dari pemerintah untuk percepatan pelayanan kepada masyarakat, tentunya membutuhkan partisipasi juga dari masyarakat untuk turut mendukung upaya pemerintah dalam pencapaian tujuan ditetapkannya pelayanan satu atap. Sehingga dengan demikian setiap hal yang menjadi kelemahan pemerintah dari implementasi kebijakan ini, bisa dikritisi oleh masyarakat yang bersifat membangun dan memperbaiki sistem ataupun metode pelayanan ini.
DAFTAR PUSTAKA

            Agung Priyono. Pelayanan Satu Atap Sebagai Strategi Pelayanan Prima di Era Otonomi Daerah. 27 Februari 2006.
Joe Fernandes, dkk. Otonomi Daerah di Indonesia di Masa Reformasi. IPOS and Ford Fondation. Jakarta. 2002
Osborne David, Plastrik Peter. Memangkas Birokrasi. Edisi Revisi. PPM 2001.
Ratminto dan Atik Septi Winarsih. Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Chapter dan Standar Pelayanan Minimal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005
Surat Keputusan Menteri PAN Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Satu Atap.

REVITALISASI HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENATAAN STRUKTUR KELEMBAGAAN DAERAH

Penataan Perangkat Daerah Sesuai Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007.
   Sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 tentan organisasi perangkat daerah, kebijakan yang mengatur organisasi perangkat daerah diatur oleh pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Dalam PP No 8 Tahun 2003 itu disebutkan bahwa Perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala dearah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretariat daerah, dinas daerah dan lingkungan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan satuan Polisi Pamong Paraja sesuai dengan kebutuhan daerah.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perangkat daerah pada pokoknya adalah organisasi yang bertugas untuk membantu kepada daerah dalam menyelenggarakan  pemerintahan daerah. Sehingga sebagai organisasi, perangkat daerah dibentuk dan bekerja berdasarkan prinsip teori organisasi.
Sebagai organisasi/lembaga yang membantu kepala daerah juga memiliki tugas yang menyelenggarakan  pemerintahan daerah dibawah kepimpinan  kepala daerah. Kriteria pembentukan lembaga-lembaga perangkat daerah sendiri disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Adapun lembaga-lembaga yang tergolong kedalam perangkat daerah tersebut yaitu; sekretariat daerah, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan,kelurahan dan satuan polisi pamong paraja.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas diwadahi dalam bentuk Inspektorat, unsur perencanaan diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri, dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi pemerintahan tersebut pada masing-masing tingkatan pemerintahan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib, diselenggarakan oleh seluruh propinsi, kabupaten dan kota, sedangkan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan hanya dapat diselenggarakan oleh daerah yang memiliki potensi unggulan dan kekhasan daerah yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan otonomi daerah, hal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan memunculkan sektor unggulan masing-masing daerah sebagai upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya daerah dalam rangka mempercepat proses peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah yaitu, pada prinsipnya memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif dan rasional sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing serta adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi serta komunikasi kelembagaan pusat dan daerah.
Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor  keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis jumlah dan kepadatan  penduduk, potensi daerah yang berhubungan dengan urusan yang akan ditangani sarana dan prasarana penunjang tugas, oleh karena itu kebutuhan akan organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama atau seragam.
Peraturan pemerintah menetapkan kriteria untuk menentukan jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah APBD, dan kemudian ditetapkan pembobotan masing-msing variabel yaitu 40% untuk variabel jumlah penduduk, 35% untuk variabel luas wilayah dan 25% untuk variabel jumlah APBD, demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban tugas masing-masing perangkat daerah.
Perubahan nomenklatur bagian tata usaha  pada dinas dan badan menjadi sekretariat dimaksudkan untuk lebih memfungsikan sebagai unsur staf  dalam rangka koordinasi penyusunan dan penyelenggaraan tugas-tugas bidang secara terpadu dan tugas pelayanan administratif.
Bidang pengawasan, sebagai salah satu fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam rangka akuntabilitas  dan objektifitas hasil pemeriksaan, maka nomenklaturnya menjadi Inspektorat Propinsi/Kota/  Kabupaten, yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada kepala daerah.
Pembinaan dan pengendalian organisasi dalam peraturan pemerintah ini dimaksud dalam rangka penerapan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplikasi antar daerah dan antar sektor, sehingga masing-masing pemerintah daerah taat asas dan taat norma dalam penataan kelembagaan perangkat daerah. Dalam ketentuan ini pemerintah dapat membatalkan  peraturan daerah tentang perangkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dengan konsekuensi pembatalan hak-hak keuangan dan kepegawaian serta tindakan administratif lainnya.
Pelaksanaan pembinaan dan pengendalian organisasi perangkat daerah, pemerintah senantiasa melakukan fasilitas melalui asistensi, pemberian arahan, pedoman, bimbingan, supervisi, pelatihan serta kerja sama, sehingga sinkronisasi dan simplikasi dapat tercapai secara optimal dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam peraturan ini dijelaskan mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti sekretariat badan narkoba propinsi kabupaten dan kota, sekretariat komisi penyiaran, serta lembaga lain untuk mewadahi  penanganan tugas-tugas pemerintahan umum yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah, namun untuk pengendaliannya, pembentukannya harus dengan persetujuan  pemerintah atas usul kepala daerah.
Untuk pertanggungjawaban kepala dinas, sekretaris DPRD dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah melalui sekretaris daerah adalah pertanggungjawaban administratif yang meliputi penyusunan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dinas, sekretariat DPRD dan lembaga teknis daerah, dengan demikian kepala dinas, sekretariat DPRD, dan kepala badan/kantor/direktur rumah sakit daerah bukan merupakan  bawahan langsung sekretaris daerah.
Dalam implementasi penataan kelembagaan perangkat daerah berdasarkan peraturan pemerintah ini menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas.
2.2 Penerapan PP No 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Pemerintah Daerah
   Meski telah ada kebijakan yang mengatur tentang satuan kerja perangkat daerah untuk dipakai oleh setiap pemerintah daerah didalam membentuk organisasi perangkat daerah, namun kenyataan yang terjadi di daerah saat ini adalah bahwa kelembagaan perangkat daerah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 bukan didasarkan pada pertimbangan diatas artinya, penataan yang dilakukan tidak sepenuhnya berlatar belakang pada apa yang harus dimainkan oleh pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sesuai kebutuhan mereka dan pengelolaan ciri khas yang dimiliki oleh daerahnya, melainkan lebih dipengaruhi oleh sikap untuk mengakomodasi tuntutan penyediaan eselon  (Jabatan) untuk personil pegawai yang ada di Pemda, keterbatasan anggaran keuangan daerah, atau kecenderungan untuk memekarkan organisasi perangkat daerah dengan alasan antisipatif yang kurang rasional dan sebagainya.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah memberikan kekuasaan dan keleluasaan yang sangat besar kepada pemerintah daerah dalam menyususn dan menetapkan organisasi perangkat daerah. Dalam pedoman itu telah ditegaskan bahwa penyusunan kelembagaan perangkat daerah harus mempertimbangkan kewenangan yang dimiliki, karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah, kemampuan keuangan daerah, ketersediaan sumber daya aparatur, dan pengembangan pola kemitraan antar daerah.
Namun, kewenangan dan kekuasaan pada tahap implementasi diterjemahkan secara berbeda-beda oleh masing-masing daerah dan cenderung ditafsirkan dengan keinginan masing-masing daerah. Berbagai pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan dalam penataan kelembagaan seringkali cenderung lebih bernuansa politis daripada  pertimbangan rasional objektif, efisiensi dan efektivitas. Kecenderungan tersebut telah membawa implikasi pada pembengkakan organisasi perangkat daerah secara sangat signifikan, hal ini berpengaruh kepada alokasi anggaran yang tersedia di masing-masing daerah.
Dana Alokasi Umum (DAU) yang semestinya untuk belanja pegawai, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana untuk kepentingan pelayanan publik, sebagian besar untuk membiayai birokrasi pemerintah daerah. Dengan demikian, justru kondisi kelembagaan pemerintah daerah masih belum sejalan dengan makna maksud dan tujuan otonomi daerah.
Terlepas dari berbagai pertimbangan yang mempengaruhi penataan kelembagaan perangkat daerah dengan kesadaran bahwa perubahan suatu sistim termasuk juga sistem pengelolaan  pemerintahan di daerah bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara  serta merta, karena itulah diperlukan suatu revitalisasi untuk memperbaiki hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, agar segala kebijakan yang diformulasikan oleh pemerintah pusat dapat diimplementasikan oleh pemerintah daerah dengan sebaik-baiknya.
2.3 Revitalisasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal Penataan Organisasi Perangkat Daerah
      Untuk memperbaiki mekanisme penataan perangkat daerah di pemerintah daerah maka perlu dilakukan perevitalisasian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Revitalisasi ini ditujukan untuk menyusun kelembagaan pemerintah daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi daerah yang perlu dikelola.
Kegiatan pokok yang akan dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah meliputi:
1. Penataan kelembagaan pemerintahan daerah agar sesuai dengan beban pelayanan kepada masyarakat;
2.    Peningkatan kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat;
3.    Penyusunan pedoman hubungan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar tercipta kontrol dan keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
4.    Penguatan pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai Kerangka Nasional Pengembangan dan Peningkatan Kapasitas dalam rangka Mendukung Desentralisasi;
5.    Pengkajian dan fasilitasi pelaksanaan standar pelayanan minimum, pengelolaan kewenangan daerah, dan sistem informasi pelayanan masyarakat; serta
6.    Peningkatan peran lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pada tingkat provinsi, dan kabupaten/kota melalui penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance). 

Saturday, October 29, 2011

Akuntabilitas Pemda- LKPD Kurang Memuaskan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Salah satu yang menjadi prinsip dari paradigma Good Governance sebagai langkah untuk menciptakan tata kepemerintahan yang baik adalah akuntabilitas. Akuntabilitas publik adalah suatu ukuran atau standar yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan penyusunan kebijakan publik dengan peraturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku untuk organisasi yang bersangkutan. Karena pada dasarnya, setiap pengambilan kebijakan publik akan memiliki dampak yang menguntungkan atau merugikan, maupun langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, penyusun kebijakan publik harus dapat mempertanggungjawabkan setiap kebijakan yang diambilnya kepada publik.
Akuntabilitas publik sebagai salah satu prinsip dari paradigma Good Governance juga diselenggarakan oleh pemerintah daerah sejalan dengan diterapkannya otonomi daerah di Indonesia melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya akuntabilitas publik, maka penyelenggaraan pemerintah daerah juga harus dapat dipertanggungjawabkan kepada seluruh pihak baik pemerintah pusat maupun kepada masyarakat.
Dalam menjalankan prinsip akuntabilitas, para penyelenggara pemerintahan menerapkan secara tiga garis besar prinsip akuntabilitas, yakni akuntabilitas dalam hubungannya dengan masyarakat publik (outwards accountability), akuntabilitas kepada para aparatur bawahan dalam instansi penyelenggara pemerintahan itu sendiri (inwards accountability) serta kepada atasan yang disebut (upwards accountability).
Prinsip upwards accountability juga menjadi salah satu bagian yang diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di era otonomi sekarang. Di dalam upwards accountability penyelenggara pemerintahan daerah harus mempertanggungjawabkan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada tiga pihak yang membutuhkan adanya akuntabilitas publik tersebut. Ketiga pihak tersebut adalah government (pemerintah pusat), parlemen dalam hal ini kepada pihak DPRD dan terakhir adalah kepada masyarakat.
Pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat tercantum dalam dua laporan penting yakni LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) dan LPPD (Laporan Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah).  LAKIP adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah melalui Instruksi Presiden No 7 Tahun 1999. Sedangkan untuk pengelolaan keuangan daerah, saat ini pemerintah daerah lebih mengacu kepada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/2007 sebagai pedoman pengelolaan keuangan daerah. Kedua laporan ini haruslah disampaikan kepada pemerintah pusat sebagai bagian dari pertanggungjawaban kinerja kegiatan dan kinerja keuangan pemerintah daerah.
Sebenarnya saat ini telah dikeluarkan sebuah kebijakan baru yang menggabungkan kedua laporan ini dalam upaya peningkatan akuntabilitas publik, adapun kebijakan itu adalah terbitnya Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Kinerja Kegiatan dan Kinerja Keuangan Instansi Pemerintah. Hanya saja memang, penerapan kebijakan ini belum maksimal karena masih terpatron dengan sisten pelaporan yang lama yakni LAKIP dan LKPD.
Satu hal yang patut masih kita sayangkan adalah, bahwa pelaksanaan sistem laporan akuntabilitas pemerintah masihlah selalu dibarengi dengan berbagai permasalahan. LAKIP contohnya, masih banyak pemeritah daerah yang belum mampu menyampaikan laporan ini tepat pada waktunya kepada pemerintah pusat. Ini masih terkait dengan pelaporan kinerja. Belum lagi tentang Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, adalah fenomena yang amat sulit untuk dibuat akuntabilitas pelaporannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mulai dari permasalahan penyusunan LKPD sampai penyampaiannya kepada pemerintah pusat,, menjadi salah satu problematika dalam urusan meningkatkan keakuntabilitasan di pemerintah daerah.
Apalagi bila harus menggabungkan kedua sistem ini dalam satu laporan sesuai dengan PP No 8 Tahun 2006 yang telah disebutkan tadi. Tapi apapun itu, setiap langkah kebijakan dalam upaya peningkatan akuntabilitas khususnya di pemerintah daerah haruslah tetap didukung agar spirit otonomi daerah tidak tercoreng dengan meningkatnya penyimpangan-penyimpangan dalam masalah kinerja kegiatan dan kinerja keuangan.

2.1 Permasalahan
            Di era pelaksanaan otonomi sekarang, pelaksanaan prinsip akuntabilitas publik belumlah sepenuhnya dijalankan dengan baik, khususnya yang menyangkut tentang masalah pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Masih banyak hal yang perlu diperhatikan sehingga penyampaian laporan pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang dinilai sebagai salah satu langkah untuk menerapkan akuntabilitas di pemerintahan daerah mampu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
            Oleh karena itu adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan paper ini adalah bagaimanakah sebenarnya mekanisme pelaporan pengelolaan keuangan pemerintah daerah sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan kebijakan yang telah ditetapkan? Dan masalah apa yang menjadi kendala penyusunan laporan keuangan tersebut serta langkah apa yang mampu diimplementasikan dalam mengatasi masalah yang dihadapi sehingga dengan demikian mampu untuk dipertanggungjawabkan secara baik kepada publik?









BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL


            Akuntabilitas publik adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan. Selain itu, akuntabilitas publik juga didefenisikan sebagai salah satu jenis akuntabilitas (pertanggungjawaban) dalam pemerintahan disamping akuntabilitas administrative, akuntabilitas hukum dan akuntabilitas politis. Akuntabilitas publik adalah jenis pertangungjawaban yang dilakukan secara terbuka. Akuntabilitas membuat “holding individuals and organizations responsible for performance measured as objectively as possible” (Paul, 1991:2)
            Salah satu jenis akuntabilitas publik adalah upwards accountability (Corbett, 1984). Dalam upwards accountability suatu instansi pemerintah menciptakan akuntabilitas melalui penyampaian berbagai laporan yang memuat kierja kegiatan, kinerja keuangan dan informasi pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik. Adapun pihak yang terdapat dalam upwards accountability ini adalah pemerintah yang menyampaikan laporan akuntabilitas melalui LAKIP dan LPPD,  parlemen lewat LKPJ dan kepada masyarakat lewat ILPPD.
            Penyampaian LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) diatur menurut Inpres No 7 Tahun 1999. LAKIP menyangkut tentang sistem manajemen kinerja mulai dari perencanaan kinerja hingga pelaporan kinerja. LPPD atau LKPD sendiri memuat mengenai pengelolaan anggaran pembangunan baik yang bersumber dari APBD dan APBN. Sedangkan LKPJ menyangkut pengelolaan dana APBD yang dipertanggungjawabkan kepada DPRD setiap pemerintah daerah dan ILPPD adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat yang dilakukan lewat kerjasama pemerintah daerah dan media massa.         LKPD sebagaimana yang telah disampaikan merupakan salah satu laporan yang harus disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat yang menuangkan segala pengelolaan keuangan di pemerintah daerah. Pengelolaan keuangan daerah ini dilakukan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59/2007 sebagai pedoman pengelolaan keuangan daerah.
            LKPD dibuat sebagai wujud akuntabilitas di pemerintahan daerah berkaitan dengan diberlakukannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam laporan ini disampaikan segala kegiatan pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat yang menggunakan alokasi dana yang bersumber dari APBD.
           





















BAB III
PEMBAHASAN


3.1  Mekanisme Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
            Sebagai salah satu manifestasi prinsip akuntabilitas publik di era otonomi daerah sekarang, maka setiap pemerintah daerah wajib untuk menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pembangunan maupun penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan di daerah masing-masing. Baik itu yang menyangkut laporan yang berisikan kinerja instansi pemerintah daerah yang diatur melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun yang menyangkut laporan pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian pertanggungjawaban pemerintah daerah.
            Salah satu laporan yang harus disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat terkait pengelolaan keuangan daerah adalah laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD). Laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan kepada instansi pemerintah yang menangani masalah keuangan langsung maupun kepada lembaga-lembaga yang memiliki fungsi auditing keuangan pemerintah,  baik auditing keuangan pemerintah pusat maupun auditing keuangan pemerintah daerah seperti contohnya BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
            Pelaksanaan akuntabilitas didaerah yang terkait dengan masalah keuangan pemerintah daerah didasarkan atas berbagai kebijakan yang antara lain meliputi Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No 1 Tahun 2004  tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Undang-Undang No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional, PP No 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah. Selain berbagai kebijakan diatas, penerapan akuntabilitas di daerah yang juga memperhatikan berbagai kebijakan akuntabilitas yang lebih spesifik yang memiliki cakupan khusus, yakni dalam masalah hal pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah maka, pemerintah daerah harus bekerja berdasarkan PP No 105 tahun 2000, yang menyebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggungjawab dengan memperhatikan azas keadilan dan kepatutan.
            Maka dalam penyampaian laporan pertangungjawaban keuangan daerah kepada pemerintah pusat, pelaksanaan prinsip akuntabilitas mengenai kinerja keuangan itu dicantumkan dalam satu laporan yang disebut sebagai Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Meskipun telah dikeluarkan kebijakan baru yakni PP No 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Kinerja Keuangan dan Kinerja Kegiatan, LKPD masih tetap dapat menjadi salah satu manifestasi pelaksanaan akuntabilitas pemerintah daerah.
            LKPD merupakan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan setiap pemerintah daerah. Dalam laporan keuangan pemerintah daerah itu akan diketahui seberapa besar tingkat penyerapan anggaran yang dilakukan oleh suatu pemerintah daerah dalam periode satu tahun. Besarnya tingkat penyerapan anggaran yang mampu diperoleh oleh setiap pemerintah daerah tentunya akan mempengaruhi limpahan alokasi dana dari pemerintah pusat baik itu dalam hal perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah maupun dalam bantuan yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang akan diterima pada tahun berikutnya. Semua sumber alokasi dana itu tentunya diwujudkan dalam APBD setiap daerah. Oleh karena itu laporan pengelolaan keuangan daerah menjadi salah satu acuan bagaimana suatu pemerintah daerah mampu melakukan proses pembangunan dengan mekanisme manajemen kinerja yang baik atau tidak, serta patut dilaporkan sebagai bagian prinsip akuntabilitas publik.
            Pelaporan yang disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat melalui LKPD yang telah disampaikan diatas pada dasarnya masih memfokuskan pada pelaporan financial yang menunjukkan seberapa besar pemerintah daerah menggunakan dana dalam melakukan proses pembangunan di daerahnya. Hal pelaporan keuangan ini penting sebagai langkah pengawasan dan control dari pemerintah sebagai wujud peningkatan akuntabilitas pemerintah daerah.
3.2                   Permasalahan yang Dihadapi Dalam Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
            Seiring dengan pemberian otonomi luas kepada seluruh pemerintah daerah dalam melaksanakan kewenangannya untuk mengatur dan mengurusi rumah tangga pemerintahannya, maka LKPD dari setiap pemerintah daerah dapat juga dipakai untuk melihat besarnya penyerapan anggaran sebagai wujud realisasi perencanaan pembangunan yang dilakukan setiap pemerintah daerah.
            Hanya saja sampai saat ini yang terjadi, masih banyak LKPD yang dianggap tidak sesuai dengan pertangungjawaban terhadap pengelolaan keuangan di daerah. Fungsi auditing yang menjadi tugas dari Badan Pengawas Keuangan seringkali menemui bahwa laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah bersifat disclaimer, bahkan LKPD yang dibuat setiap pemerintah daerah pun belumlah menunjukkan berjalannya prinsip transparansi dan akuntabilitas yang digadang-gadang sebagai jalan pelaksanaan pemerintahan yang bersih.
            Semua pihak tentunya terkait dalam masalah pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan memiliki akuntabilitas. Baik itu dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten/kota. Semuanya terlibat bila LKPD masih dianggap belumlah menunjukkan nilai akuntabel yang diharapkan.
            Betapa memprihatinkannya apabila limpahan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mempercepat proses pembangunan dan pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik kepada masyarakat, bukan langsung digunakan sebagai sumber alokasi dana pengimplementasian kebijakan pembangunan didaerah, melainkan disimpan dahulu di bank-bank sehingga mendapatkan suku bunga yang amat besar, yang tentunya menguntungkan pihak pengelola dana tadi. Realita yang terjadi proses pembangunan untuk kepentingan publik terhambat, akan tetapi disatu sisi pemerintah daerah melalui oknum-oknum tertentu mendapatkan keuntungan dari penyimpanan dana yang berasal dari pemerintah pusat itu.
            Suatu gambaran yang ironis bagaimana spirit otonomi daerah yang menjadi suatu euphoria tersendiri saat awal orde reformasi dimulai ternyata telah tercoreng hanya karena ketidakjelasan dari suatu laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Padahal pemerintah telah menerbitkan kebijakan sebagai pedoman yang menjadi acuan pelaksanaan pengelolaan keuangan didaerah.
            Bila permasalahan seperti ini terus terjadi, tentu proses pembangunan yang seharusnya makin cepat dirasakan masyarakat lewat proses desentralisasi menjadi sesuatu yang teramat lambat untuk diwujudkan hanya karena alokasi dana yang dibuat untuk pembiayaan rencana pembangunan, terhenti di bank-bank untuk mendapatkan tingkat bunga yang amat tinggi, dan membesarnya SBI yang ada di pemerintah daerah itu, belum tentu dicantumkan dalam laporan keuangan pemerintah daerah yang disampaikan kepada pemerintah pusat, maupun kepada BPK selaku pelaksana fungsi auditing, bila hal ini terus terjadi maka, pembangunan di negara ini tentunya akan mengalami keterlambatan, dan proses perwujudan akuntabilitas dan transparansi sebagai langkah menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme hanya akan menjadi angan-angan semata.

3.3       Langkah-Langkah Untuk Mengatasi Permasalahan LKPD                   
            Untuk mewujudkan LKPD yang memang akuntabel baik dari segi pelaporan dan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah itu sendiri, tentunya memerlukan kerjasama dari berbagai pihak terkait. Mulai dari pihak perencana, pihak yang menjadi implementator kebijakan, pihak yang bertindak sebagai controller serta pihak yang menyusun laporan dan yang mengevaluasi.
            Setiap pihak memiliki peran dan fungsi masing-masing. Pemerintah pusat dalam hal ini tentunya harus lebih peka untuk menanggapi ketidakjelasan laporan keuangan pemerintah daerah yang terjadi selama ini, sehingga pemerintah daerah mampu melakukan kinerja yang baik melalui pengelolaan keuangan daerah yang sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang telah ditetapkan.
            Pemerintah daerah juga tentunya harus menyusun dan menyerahkan laporan keuangan pemerintah daerah itu, yang benar-benar akuntabel. Bukan hanya sebatas laporan untuk melengkapi akuntabilitas administratif, tapi memang harus menunjukkan nilai akuntabilitas publik sesungguhnya. LKPD yang dibuat juga tentunya akan menjadi bahan evaluasi bagi pelaksana fungsi auditing yakni BPK untuk dapat mengevaluasi dan menilai keakuntabilitasan LKPD yang disampaikan oleh setiap pemerintah daerah di Indonesia.
            Selain hal umum yang diatas, yang perlu juga diperhatikan dalam masalah pelaporan keuangan pemerintah daerah ini adalah pentingnya sumber daya manusia aparatur pemerintahan yang berkualitas, baik itu dalam hal pengelolaan keuangan daerah, maupun dalam hal pelaporan keuangan daerah itu sendiri.
            Pengelolaan keuangan daerah yang sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 59 tahun 2007 harus membutuhkan aparatur yang professional dan berkompeten dalam pelaksanaannya. Pengelolaan keuangan daerah juga harus dilaksanakan sesuai dengan penerapan standar akuntansi pemerintah yang berlaku, sehingga akan didapat laporan keuangan pemerintah yang benar-benar akuntabel dan berakuntabilitas.
            Memang bagi masyarakat, mereka tidak terlalu mengetahui seberapa baik pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah itu, akan tetapi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara ini, mereka akan melihat betapa pemerintahan yang belum bersih itu akan masih berkeliaran dan tetap hidup melalui pengimplementasian pembangunan dan tingkat penyelenggaraan pelayanan publik kepada mereka. Jika hal itu tetap berlanjut, maka tingkat kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah mampu menjalankan dan menahkodai perwujudan paradigma Good Governance melalui akuntabilitas publik, akan semakin turun dan semua cita-cita dan pencapaian tujuan negara kita, hanya akan sebatas impian belaka.









BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
            Sebagai salah satu laporan pertanggungjawaban untuk mewujudkan akuntabilitas publik, LKPD dari setiap pemerintah daerah haruslah dilaporkan secara baik dan transparan. Pengelolaan keuangan daerah juga harus dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. LKPD yang menunjukkan tingkat laporan financial pengelolaan keuangan daerah juga dapat dijadikan menjadi acuan untuk mengukur tingkat pembangunan dan pelaksanaan pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
            Dengan LKPD ini juga maka fungsi pengawasan keuangan sekaligus fungsi auditing yang dilakukan oleh lembaga terkait dalam hal ini BPK akan dapat dilaksanakan dan dilakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah daerah dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan daerah yang digunakan untuk membiayai proses pembangunan yang berlangsung di daerah.

4.2 Saran
            Dalam penyampaian LKPD kepada pemerintah pusat, apapun hasil evaluasi dari pemerintah pusat dan Badan Pengawas Keuangan terhadap pengelolaan keuangan daerah dari setiap pemerintah daerah, haruslah menjadi sebuah bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk dapat mampu memberikan laporan keuangan pemerintah daerah yang baik dan memiliki akuntabilitas di tahun-tahun berikutnya.
            Memang penilaian terhadap laporan keuangan belumlah cukup menilai kinerja pemerintah daerah, masih diperlukan akuntabilitas kinerja lagi untuk mampu menilai kinerja pemerintah daerah dalam melakukan manajemen kinerja sebagai langkah perwujudan kepemerintahan yang baik. Meski demikian, pelaporan keuangan daerah tetap harus mampu mencerminkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah.